Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Kriminalisasi dan Delegitimasi Aspirasi dalam Kasus Fery Irwandi

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Demonstrasi Mahasiswa. Mahasiswa terlibat bentrok dengan kepolisian dalam aksi tolak kenaikan gaji anggota DPR di Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, 28 Agustus 2025. Tempo/Amston Probel
Iklan

Kita perlu membaca kembali fenomena Fery Irwandi sebagai delegitimasi aspirasi.

 

***

Kasus Fery Irwandi membuka kembali perdebatan lama mengenai relasi antara hukum, kekuasaan, dan ruang publik di Indonesia. Tuduhan bahwa aksi yang dipimpinnya ditunggangi oleh pihak asing mencerminkan pola klasik kriminalisasi: pemutarbalikan logika fakta menjadi narasi hukum yang melemahkan legitimasi gerakan sosial. Dalam konteks ini, hukum sering diposisikan bukan sebagai pelindung aspirasi rakyat, melainkan sebagai instrumen politik untuk membungkam perlawanan.

Logika Stigma

Narasi “penunggangan asing” adalah bentuk stigmatisasi hukum. Ia berfungsi sebagai justifikasi politis untuk menyingkirkan substansi tuntutan massa. Dengan cara itu, perhatian publik dialihkan dari pokok persoalan ke isu kedaulatan dan ancaman eksternal. Padahal, secara prinsipil, tuduhan semacam ini seharusnya diuji dengan bukti konkret, bukan sekadar asumsi yang mengaburkan fakta peristiwa.

Secara yuridis, tuduhan tanpa bukti yang masuk ke dalam kategori alat bukti (KUHAP Pasal 184) tidak dapat dijadikan dasar kriminalisasi. Jika bukti faktual tidak ada, maka tuduhan “penunggangan asing” hanyalah retorika politik, bukan konstruksi hukum.

Perlawanan atau Aspirasi?

Dalam hukum positif Indonesia, demonstrasi diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi pada dasarnya dilindungi sebagai hak konstitusional warga negara (UUD 1945 Pasal 28E). Akan tetapi, sering kali demonstrasi dimaknai oleh otoritas sebagai sekadar “penyampaian aspirasi”.

Padahal, jika ditelusuri secara historis, demonstrasi memiliki dimensi perlawanan politik terhadap kebijakan yang dianggap menindas. Ia bukan sekadar forum menyampaikan gagasan, tetapi aksi kolektif untuk menekan perubahan. Dengan kata lain, demonstrasi lebih dekat pada logika perlawanan daripada sekadar aspirasi. Menyederhanakan demonstrasi hanya sebagai “aspirasi” sama artinya dengan mengebiri fungsinya yang substantif.

Kriminalisasi sebagai Pemutarbalikan Fakta

Dalam kasus Fery Irwandi, kriminalisasi dapat dibaca melalui pola berikut:

1. Fakta: adanya demonstrasi dengan tuntutan tertentu.

2. Bukti: narasi yang disusun aparat untuk mengaitkan demonstrasi dengan ancaman pihak asing.

3. Alat bukti: upaya memasukkan narasi tersebut ke ranah hukum agar dianggap sah.

Di sinilah terlihat adanya upaya manipulasi logika keterangan: perlawanan sosial dijadikan seolah-olah bentuk konspirasi asing, sehingga aparat dapat mengabaikan pokok tuntutan masyarakat. Kasus ini menegaskan bahwa persoalan hukum di Indonesia sering tidak berhenti pada tafsir normatif, tetapi sarat dengan muatan politis. Tuduhan penunggangan asing dan penyempitan makna demonstrasi menjadi “aspirasi” adalah bentuk delegitimasi gerakan rakyat.

Opini hukum yang sehat harus kembali pada prinsip dasar: fakta harus dipisahkan dari stigma, bukti harus diverifikasi secara objektif, dan alat bukti harus tunduk pada aturan hukum, bukan tekanan politik. Tanpa itu, hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan panglima keadilan.


 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler